Senin, 27 Februari 2012

Antologi Visual; Episode Merespon Cahaya

Bagaimanapun juga, saat berbicara mengenai fotografi, secara otomatis kita dihadapkan dengan berbagai metoda teknis dan berbagai hukum fisika yang melandasi cara kerja dari fotografi itu sendiri. Gw sendiri baru belajar mengenai ilmu yang satu ini, walau sebenarnya minat gw di fotografi sudah dari belasan tahun silam. Secara teknis sih, sedikit banyaknya gw cukup "tahu" dan faham tentang teknis-teknis fotografi, meskipun tidak menguasai sepenuhnya.

Tapi, ya namanya juga orang belajar, segala yang gw tahu, ya langsung gw praktikkan. Oprek sana, oprek sini sesekali garuk-garuk kepala, karena ternyata hasilnya masih jauh sekali dari harapan gw. Hehehee.. Tapi, ya ga apa-apalah, justru PROSES itulah yang membat gw jadi lebih tahu.

Saat-saat keranjingan motret panggung pertunjukan dulu, gw memiliki kecenderungan dan senang sekali pada cahaya lampu yang dimainkan oleh si Penata Lighting. dan, gara-gara sering maen slow speed tidak jarang gw di protes karena fotonya menjadi blur dan hanya menghasilkan garis-garis cahaya belaka. Beberapa temen yg jd sutradara, atawa aktor, penari, dan lainnya sering kali protes karena kalo gw yang motret kebanyakan main-main dengan cahaya, bahkan gambarnya ga karuan katanya. Tapi anehnya, mereka selalu minta gw yang motret setiap pertunjukan mereka, bahkan foto yang katanya blur dan ngaco itu dicetak 20R dan dipajang diruang tamu rumahnya. Hahaha, aneh deh udah tau gw ga bisa motert eh disuruh motert terus, udah tau hasilnya ngeblur dan ga karuan, eh malah dicetak gede juga.. :p

Kembali soal fotografi, buat gw sih, memotret itu tak ubahnya seperti kita menulis puisi. Kadang puisi itu jelas dan gamblang mudah difahami, karena sang empunya sedang berpikir logis. Tapi tak jarang puisi itu menjadi Absurd dan tak terduga, bahkan orang yang berpikir logis pun, puisinya Mbeling. Karena apa? Karena ya ketika orang menulis puisi baik yang bersifat konvensional maupun yang kontemporer sekalipun, saat proses-nya, tidak hanya dilandasi oleh logika berfikirnya. Justru disitu ada perpaduan antara logika dan naluri, yang juga dipengaruhi oleh kondisi psikologi sang kreatornya. (gitu kali ya, kirata-nya?)

Bahasa kasarnya sih, sang kreator mau berkreasi seperti apapun, dengan hasil yang ngawur sekalipun, tentu dilandasi dengan unsur logika, naluri, keilmuan, pengalaman, dan yang paling penting adalah kondisi psikologi personal saat meracik karyanya tersebut.

Tapi pertanyaannya, apakah hasil dari kreasi yang ngawur itu, layak dikonsumsi publik? Ya tentu saja layak, wong publik luas juga memiliki hak untuk mengapresiasi apa yang disebut dengan Karya. Dan tentunya publik pun berhak merepresentasikan Karya itu sebagai Seni atawa Sampah. Wkwkwkwkww...

 Oiya, sebenernya sih gw bukan mau ngebahas yang berat-berat. Intinya, gw mau menyajikan foto-foto iseng gw selama di perjalanan malam hari. Bermain-main merespon cahaya, seperti yang gw sering lakukan di panggung pertunjukan dengan gemerlap lampunya yang indah. Kali ini, gw jeprat-jepret iseng di mobil travel dari Jakarta menuju Bandung, yang gw ambil sepanjang jalan Tol, kebetulan duduk di samping pak Supir yang sedang sedang menyetir :D

Silahkan dinikmati..







 














Bersambung dulu ya, makan siang dulu euy!


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar