Selasa, 30 Oktober 2012

Antologi Visual, Episode Melahap Nasi Goreng Pete


 

Apa yang akan dilakukan kebanyakan orang saat lapar? Jawabannya sudah barang tentu adalah MAKAN! Serupa dengan ketika orang mengantuk, maka ia akan tertidur. Atau ketika seseorang sedang mules, maka ia akan mencari WC untuk setor! 

Semalem, gw nyaris kelaperan. Turun ke kantin kantor Niscaya sudah kosong mlompong. Karena, jam sebelas malem kantin sudah tidak berpenghuni, baik yang bisa dimakan maupun yang tidak bisa dimakan. Akhirnya gw putuskan untuk berjalan2 di jalan Panjang mencari sesuap nasi yang seharusnya) bisa membuat nikmat dan kenyaang. Itu sudah pasti. 

Di pinggiran Arteri Jalan Panjang antara Kelapa Dua dan kebon jeruk, gw menemukan gerobak nasi goreng yang masih berpenghuni dan tampaknya ada sesuatu yang sangat menggoda selera makan gw. Ya, Pete2 (Peuteuy; bahasa latin sunda) yang bergelantungan tersipu angin malam, dan seolah2 memanggil2 gw dengan gemulainya. 

"...Nasi goreng Pete, yang pedas, Mas 1 Porsi!..."

Berhubung itu gerobak nasi goreng cukup disesaki para tamu yang siap melahap hasil karya si penjual nasi goreng, otomatis gw menjadi salah satu tamu yang harus antri dengan perut Dangdutan (bahasa lain keroncongan-atau-kerock-rock-an). Yah, terpaksa Antri deh. 

Dalam gw termangu menanti nasi goreng pete yang dalam imajinasi gw mengepul dan harum mewangi itu, gw putuskan untuk jeprat-jepret kiri-kanan gak karuan. Berbekal FujiFilm XE-1 di tangan, jemari yang iseng pun mulai beraksi menekan tombol shutter berkali2. Kamera masih tersangkut pada mode Multi-Expose, yang pada akhirnya membuat gw harus memotret 2 kali dalam satu frame yang sama. Sembrawut sih, tapi di sana gw banyak menangkap aksi si penjual nasi goreng tersebut. Dalam arti, proses memasak nasi goreng pete yang gurih, nikmat, dan renyah itu ternyata diiringi dengan niatan ikhlas dan energi dari kedua penjual nasi goreng pete itu. Terelebih ada aura yang membuat energi itu larut bersama rempah2 dalam bumbu nasi goreng pete yang gw makan. Nikmat lah pokona mah... Harumnya Peuteuy itu melekat sepanjang waktu... Tabik!


   

 













Senin, 29 Oktober 2012

Antologi Visual; Episode NEO THEATRE

Teater Rumah-Ku

Bagi seorang anak panggung (semacam gw ini), kehidupan di Teater adalah kehidupan Riil yang memang harus dihidupi. Begitupun dengan teman-teman Seni Rupa, Karawitan, Etno, Tari, dan lainnya. Yupz, Teater Adalah RumahKu!

Sekiranya Teater adalah sebuah naungan bagi siapapun yang pernah terlibat di dalamnya. Bagaimana tidak, Teater selalu memunculkan tawa yang renyah hingga luka yang mamah sekalipun.Buat gw yang kini sehari2nya nongkrong di belakang komputer atawa sesekali ngintip di balik viewfinder kamera, menyimak teater adalah menyimak hidup sendiri, adalah pulang ke rumah. Bayangkan saja, Separuh hidup di teater membuat imajinasi dan fantasi selalu berada di atas panggung. Dan ketika meninggalkannya, ya pangung pun menjadi realitas dalam keseharian gw di manapun kapanpun.

Reuni jeung Teater

"...Krrriiiiing..." (anggap saja begitu bunyinya, padahal sekarang sudah tidak musim bunyi demikian)
si Zulfa nelpon, "....Rakoes, anak-anak mentas di BBJ (Bentara Budaya Jakarta Kompas) besok malem, awas mun teu nonton!!!..." Kalimat tersebut memang bukan sebagai ajakan meng-apresiasi teater, bukan juga sebagai invitation sebuah pertunjukan, tapi lebih kepada keharusan untuk mengunjungi rumah lama bernama teater.

Pada waktu itu (17-18/10-2012), se-darah2 se-Teater memang sedang berproses di BBJ yang berada dalam naungan Kompas Gramedia, tempat si gw mencari nafkah. Melihat sedikit proses teater, adalah pembangkit gairah yang lebih manjur daripada Viagra sekalipun. Melihat proses teater adalah re-Charge diri gw lahir dan bathin, adalah Nyetrum awak jeung ruh kawula.

Fathul A. Husein, Zulfa Laila, Daus, jeung Iwo jauh-jauh hari sudah memberi gw kabar akan pementasan tersebut. Dan, pada malam 17 Oktober kita bersua dengan banyak se-darah2 teater. Fathul A. Husein selalu kakak seperguruan mengumumkan bahwa dia sekarang punya mobil baru bernama NEO THEATRE, dan saat itu dia bersama dulu2 mementaskan KLITEMNESTRA karya Tadashi Suzuki.

     
Sebelum pentas sempat gw foto-foto dulu tuh saudara2 seperguruan, seTeater. Ada aura baru yang gw rasakan, ada energy yang lama hilang akhirnya terisi kembali, walau tidak terlibat langsung, walau hanya apresiator, tapi gw bersyukur masih bisa pulang ke Teater.


  
Tuh lihat, di foto atas gw menangkap energi yang lama hilang. Ada keterikatan bathin dan ruh juga raga dalam setiap ponggawa teater. Ada ikatan emosional yang terjaga dengan sadar, tapi juga ada alam bawah sadar yang saling terikat satu sama lainnya. Entah itu cinta atau mungkin Nestapa. Tapi apa boleh buat, ya, itu Teater namanya.


Ruang kosong Bentara Budaya Jakarta (BBJ-Kompas) seketika disulap menjadi ruang pentas atawa Panggung atau Teater itu sendiri. Gw turut menyirna-kan raga dan larut dalam dunia imajiner, hanyut bersama sukma sodara2 yang saling memainkan peran satu sama lainnya. Hal tersebut turut mengembalikan memoar sebuah ikatan yang tak bisa saling menyulut ego seperti di tempat gw menulis blog ini, saat ini. Klise, bahkan cenderung penuh Intrik. Orang2 yang gw temui sekarang semua memainkan targetnya sendiri2, tanpa melirik sekitar, cukup Egosentris rasanya dunia ini. Tapi untung sejuta untung, gw dilahirkan dalam iklim yang hegemoni, yang Ensamble, yang tak bisa terlepas dari orang lain walau monolog sekalipun. TEATER (titik)

Di Belakang pentas, gw sempatkan diri untuk mengabadikan beberapa aksi natural para pelaku teater. Hal2 semacam itu menumbuhkembangkan rasa kebersamaan di Teater, di rumah yang never ending story, di lakon2 yang tak terperankan pun. Ada Aksi dan Hakiki, adalah Rumah Proses. Berikut aura sedulur2 yang gw tangkap di Teater:  



 
  














Eh, lagi2 harus bersambung dulu...