TEATER PAYUNG HITAM, PALSU
"...Barang
siapa memalsukan ideologi Bangsa dan Negeri ini, dan barang siapa
memalsukan dirinya sebagai pemimpin atau rakyat atau siapa pun, dan atau
seseorang yang bukan dirinya, dan mengaku sebagai seorang Semar,
patutlah kita semua serentak kepalkan tangan dan lantang berkata 'Go to
Hell!!!'..."
Kalimat di atas membuka sebuah buku pengantar pentas dari pertunjukan berjudul PALSU karya dan Sutradara Rachman Sabur atawa Babeh. Rachman Sabur adalah nakhoda kapal tangguh berlabel TEATER PAYUNG HITAM, tempat di mana gw ditempa sekira sepuluh tahun silam. Malam itu, jumat 23 Agustus 2013, malam yang menyegarkan pandang dan bathinku, setidaknya setelah berada di rumah besar yang tak pernah tidur. Ya, rumah yang terletak di Jalan Buah Batu nomor 212 tersebut, merupakan kawah candradimuka bagi banyak nama besar di muka bumi ini.
Sebelum masuk ke ruang pentas yang sangat Sakral (memiliki nilai histori yang teramat sangat), setidaknya bagi mereka yang pernah hidup di dalamnya. Oiya, balik ke kalimat pembuka di atas! Sebelum masuk ke Gedung Kesenian Sunan Ambu, gw menyempatkan diri untuk bercengkrama dalam alunan nostalgia bersama ruang, waktu, peristiwa, dan beberapa orang yang sengaja hadir dari masa lalu. <---- banget="" melow="" nbsp="" p="" ye="">
Bertemu kawan seperjuangan yang pernah hidup "sagulung sagalang", pernah berenang bersama dalam kubangan kelingat Teater dan Air Seni, merupakan suatu hal yang bersifat "refreshing". Saling bertanya kabar, bertukar kisah, berbagi pengalaman, hingga saling mengejek masa-masa kelabu di zaman Jahiliyah dulu. Tidak lupa, gw juga bersilaturahmi dengan pohon bambu yang pernah gw tanam, mengecup dinding Dewi Asri tempat gw di tempa bagai besi di bara api, lalu bersujud di Asyu'ara, sebuah Masjid kecil yang selalu menjadi penyelamat saat syaiton menggoda, dan melepas rindu pada Bala-bala dan Gehu buatan Mamah Gor, Mc D (Mang Dayat / John), Ema, dan Mamah Tengah.
Bersama sedulur sedarah dan se-Tanah Air, akhirnya gw masuk ke ruang sakral yang tadi gw bilang sangat sakral. Bahkan, dulu ada spanduk terbentang tepat di depan Sunan Ambu bertuliskan, "TAK ADA UCAPAN SELAMAT DATANG SEBELUM MEMAINKAN PERAN DI ATAS PENTAS". Anjeeeerr edan teu?
Sampai di teras, ada beberapa usher unyu-unyu yang membagikan buku acara beserta konsumsi (Wah, baru pertama nonton teater ada konsumsinya) hehehe. Kemajuaaaannn!!
Saat pintu Sunan Ambu itu terbuka, gw merasakan ada aura magis yang memanggil. Seolah-olah menarik gw dan penonton lainnya untuk segera singgah dan duduk manis, bersiap menonton pertunjukan bertajuk PALSU tersebut. Sesaat kemudian, di tengah nuansa mistis (merinding euy!) Sunan Ambu yang khidmat, berubah menjadi gaduh dengan sorak-sorai dan tepuk tangan yang bersahutan. Gw gak ngeh semua itu ditujukan untuk siapa, pada siapa, atau terhadap apa. Sejurus kemudian, seorang pria paruh baya yang tampak Ja'im memasuki altar Sunan Ambu berkarpet merah dengan pengawalan beberapa lelaki tegap bau kelek.
Sampai akhirnya gw tau, sosok lelaki perlente tegap, berwajah Ja'im itu adalah purnawirawan Jenderal bintang empat yang konon Nya-pres di 2014 mendatang. Jika tidak salah, doi bernama Jenderal TNI (Purnawirawan) WIRANTO. Seorang jenderal besar yang terjangkit kasus yang tak kunjung usai, yakni kasus HAM di Timor Leste pasca jajak pendapat yang terjadi pada tahun 1999 silam. Bahkan, konon ini mah ya, Jenderal ini terancam diadili di pengadilan internasional (katanya loh).
Okay, lanjut ke dunia panggung Sunan Ambu malam itu. Setelah semua penonton duduk manis dan (yang ada dalam bayangan gw sih langsung disuguhi sajian renyah khas pertunjukan Teater Payung Hitam), tetiba datang seorang MC yang mencoba santun menyapa penonton dengan garingnya. Ah cair deh jadinya. Untung saja dengan sigap dila lalu tobat, dan si MC pun mengajak seisi gedung untuk berdiri sejenak untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Patriot banget para penonton teater, bukan?)
http://www.youtube.com/watch?v=CLmLMVaF46Y
Setelah menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, yakni pentas teater PALSU. (Eh, belum deng.. ada gangguan dikit, yakni sambutan dari Jenderal yang tadi datang itu lho, Pak Wiranto. Dengan sigap, pensiunan Jenderal Angkatan Darat itu pun naik ke atas panggung dengan sedikit celoteh tentang Nasionalisme. (agar berbau kampanye sih!)
Tidak lama doi di atas panggung, akhirnya para penonton terlihat H2C alias Harap-harap cemas untuk menyaksikan lakon PALSU. (Eiittsss, belum.. Masih ada Orasi Kebangsaan dari ROBAMA).
Usai ROBAMA ber-orasi cukup panjang yang menguras waktu para penonton, dan membuat gelisah Bung Jenderal (beberapa kali disentil ROBAMA) hehehe. Alhamdulillah, para penonton tidak terjebak dalam Celoteh Jenderal PALSU dan Orasi PALSU lagi (seloroh Asep Ndog, broadcaster yang balik ke panggung Buah Batu 212). Kini, tiba waktunya para penonton menuntaskan maksud dan tujuannya singgah di Sunan Ambu, yakni MENONTON TITER (mengutip bahasa Yoyo C. Durachman).
Overture musik fade in, terdengar samar-sama suara khas Rusli Keleeng pentolan kelompok Musik 1/2 Tiang yang malam itu menjadi penata musik PALSU, bersama Randy Gevenk, Herman Eff (tumben si Papap gak Motret??) dan lain-lain. Mereka membentuk koor, bersama-sama menyikan lagu apik racikan Sawung Jabo, Kuda Lumping.
Kalimat di atas membuka sebuah buku pengantar pentas dari pertunjukan berjudul PALSU karya dan Sutradara Rachman Sabur atawa Babeh. Rachman Sabur adalah nakhoda kapal tangguh berlabel TEATER PAYUNG HITAM, tempat di mana gw ditempa sekira sepuluh tahun silam. Malam itu, jumat 23 Agustus 2013, malam yang menyegarkan pandang dan bathinku, setidaknya setelah berada di rumah besar yang tak pernah tidur. Ya, rumah yang terletak di Jalan Buah Batu nomor 212 tersebut, merupakan kawah candradimuka bagi banyak nama besar di muka bumi ini.
Sebelum masuk ke ruang pentas yang sangat Sakral (memiliki nilai histori yang teramat sangat), setidaknya bagi mereka yang pernah hidup di dalamnya. Oiya, balik ke kalimat pembuka di atas! Sebelum masuk ke Gedung Kesenian Sunan Ambu, gw menyempatkan diri untuk bercengkrama dalam alunan nostalgia bersama ruang, waktu, peristiwa, dan beberapa orang yang sengaja hadir dari masa lalu. <---- banget="" melow="" nbsp="" p="" ye="">
Bertemu kawan seperjuangan yang pernah hidup "sagulung sagalang", pernah berenang bersama dalam kubangan kelingat Teater dan Air Seni, merupakan suatu hal yang bersifat "refreshing". Saling bertanya kabar, bertukar kisah, berbagi pengalaman, hingga saling mengejek masa-masa kelabu di zaman Jahiliyah dulu. Tidak lupa, gw juga bersilaturahmi dengan pohon bambu yang pernah gw tanam, mengecup dinding Dewi Asri tempat gw di tempa bagai besi di bara api, lalu bersujud di Asyu'ara, sebuah Masjid kecil yang selalu menjadi penyelamat saat syaiton menggoda, dan melepas rindu pada Bala-bala dan Gehu buatan Mamah Gor, Mc D (Mang Dayat / John), Ema, dan Mamah Tengah.
Bersama sedulur sedarah dan se-Tanah Air, akhirnya gw masuk ke ruang sakral yang tadi gw bilang sangat sakral. Bahkan, dulu ada spanduk terbentang tepat di depan Sunan Ambu bertuliskan, "TAK ADA UCAPAN SELAMAT DATANG SEBELUM MEMAINKAN PERAN DI ATAS PENTAS". Anjeeeerr edan teu?
Sampai di teras, ada beberapa usher unyu-unyu yang membagikan buku acara beserta konsumsi (Wah, baru pertama nonton teater ada konsumsinya) hehehe. Kemajuaaaannn!!
Saat pintu Sunan Ambu itu terbuka, gw merasakan ada aura magis yang memanggil. Seolah-olah menarik gw dan penonton lainnya untuk segera singgah dan duduk manis, bersiap menonton pertunjukan bertajuk PALSU tersebut. Sesaat kemudian, di tengah nuansa mistis (merinding euy!) Sunan Ambu yang khidmat, berubah menjadi gaduh dengan sorak-sorai dan tepuk tangan yang bersahutan. Gw gak ngeh semua itu ditujukan untuk siapa, pada siapa, atau terhadap apa. Sejurus kemudian, seorang pria paruh baya yang tampak Ja'im memasuki altar Sunan Ambu berkarpet merah dengan pengawalan beberapa lelaki tegap bau kelek.
Sampai akhirnya gw tau, sosok lelaki perlente tegap, berwajah Ja'im itu adalah purnawirawan Jenderal bintang empat yang konon Nya-pres di 2014 mendatang. Jika tidak salah, doi bernama Jenderal TNI (Purnawirawan) WIRANTO. Seorang jenderal besar yang terjangkit kasus yang tak kunjung usai, yakni kasus HAM di Timor Leste pasca jajak pendapat yang terjadi pada tahun 1999 silam. Bahkan, konon ini mah ya, Jenderal ini terancam diadili di pengadilan internasional (katanya loh).
Okay, lanjut ke dunia panggung Sunan Ambu malam itu. Setelah semua penonton duduk manis dan (yang ada dalam bayangan gw sih langsung disuguhi sajian renyah khas pertunjukan Teater Payung Hitam), tetiba datang seorang MC yang mencoba santun menyapa penonton dengan garingnya. Ah cair deh jadinya. Untung saja dengan sigap dila lalu tobat, dan si MC pun mengajak seisi gedung untuk berdiri sejenak untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Patriot banget para penonton teater, bukan?)
http://www.youtube.com/watch?v=CLmLMVaF46Y
Setelah menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, yakni pentas teater PALSU. (Eh, belum deng.. ada gangguan dikit, yakni sambutan dari Jenderal yang tadi datang itu lho, Pak Wiranto. Dengan sigap, pensiunan Jenderal Angkatan Darat itu pun naik ke atas panggung dengan sedikit celoteh tentang Nasionalisme. (agar berbau kampanye sih!)
Tidak lama doi di atas panggung, akhirnya para penonton terlihat H2C alias Harap-harap cemas untuk menyaksikan lakon PALSU. (Eiittsss, belum.. Masih ada Orasi Kebangsaan dari ROBAMA).
Usai ROBAMA ber-orasi cukup panjang yang menguras waktu para penonton, dan membuat gelisah Bung Jenderal (beberapa kali disentil ROBAMA) hehehe. Alhamdulillah, para penonton tidak terjebak dalam Celoteh Jenderal PALSU dan Orasi PALSU lagi (seloroh Asep Ndog, broadcaster yang balik ke panggung Buah Batu 212). Kini, tiba waktunya para penonton menuntaskan maksud dan tujuannya singgah di Sunan Ambu, yakni MENONTON TITER (mengutip bahasa Yoyo C. Durachman).
Overture musik fade in, terdengar samar-sama suara khas Rusli Keleeng pentolan kelompok Musik 1/2 Tiang yang malam itu menjadi penata musik PALSU, bersama Randy Gevenk, Herman Eff (tumben si Papap gak Motret??) dan lain-lain. Mereka membentuk koor, bersama-sama menyikan lagu apik racikan Sawung Jabo, Kuda Lumping.
Kuda lumping nasibnya nungging
Mencari makan terpontang panting
Aku juga dianggap sinting
Sebenarnya siapa yang sinting?
Berputar putar dalam lingkaran
Berputar putar dalam lingkaran
Menari tak sadarkan diri
Mata terpejam mengunyah beling
Mempertahankan hidup yang sulit
Kuda lumping nasibnya nungging
Kuda lumping nasibnya nungging
Mencari makan terpontang panting
Aku juga dianggap sinting
Sebenarnya siapa yang sinting?
Seiring dengan Kuda Lumping yang menggema, para tokoh yang dalam hal ini
menggambarkan sosok Semar, hadir di panggung dengan gaya teatrikal yang
komikal. Tawa renyah penonton seolah meruntuhkan tiang-tiang yang
terpancang di Sunan Ambu. Sesekali penonton menertawakan tingkah tokoh
yang mengaku sebagai Semar tersebut. Tidak terkecuali gw, bersama Dikdik
Jafar Sidik atawa DJ Sidik (Salikur, Arga Wilis) yang duduk di samping
gw, cukup terpingkal-pingkal melihat kelakuan tiga Semar yang diperankan
oleh para sahabat lama, Nugraha "Bazeer" Susanto, Nanda Darius, dan
Wail Irsyad.
Habis sudah tertawa satire menyimak kelakuan tiga Semar yang satu sama
lainnya saling mengaku Semar. Setelah Gimmick yang dihadirkan Babeh
tersebut, gw mulai menilik dan mengingat-ingat sesuatu. Ada beberapa hal
yang gw ingat; Pertama tokoh Semar, Tata Pentas, lalu muncul Semar
lainnya yang hadir tanpa Kepala yang diperankan oleh Iwan Lonceng. Ya,
semua yang gw ingat adalah karakter khas dari Payung Hitam itu sendiri.
Sejenak gw terikat akan lakon bertajuk KATAKITAMATI, DOM, BERSAMA
TENGKORAK, KASPAR, dan lain sebagainya. Rupanya Rachman Sabur atawa
biasa kami sapa dengan sebutan Babeh, masih bisa menjaga aroma nafas
Teater Payung Hitam yang selama ini di besarkan.
Bagi penonton yang pernah terlibat dalam garapan Teater Payung Hitam,
pasti akan tahu, bagaimana sebuah PROSES ber-Teater diramu dengan
hati-hati dalam ruang eksplorasi yang tidak terbatas. Begitulah seorang
Babeh membentuk lakon. Terkadang ada nada tinggi nan membentak, namun
seiring angin berlalu ada sapaan hangat dan mesra dari Babeh kepada
anak-anaknya. Itulah Teater, sebuah kerja ensambel yang penuh drama di
dalamnya. Satu hal yang gw saksikan dari lakon PALSU ini adalah kolase
dari lakon-lakon karya Rachman Sabur sebelumnya yang monemental.
Beberapa kawan yang mengikuti perjalanan panjang Teater Payung Hitam,
boleh saja merasa bosan dengan tontonan-nya. Namun, mereka harus
mengakui bahwasanya seorang Rachman Sabur alias si Babeh, masih memiliki
KEPEKAAN yang tajam dalam menyampaikan pesan, walau hanya lewat bahasa
Mimik dan gestur sekalipun.
Kehadiran Hendra Mboth pada beberapa lakon garapan Teater Payung Hitam,
memberikan warna lain, dan seakan menjadi ikon baru di Teater Payung
Hitam. Tingkah lakunya yang gesit, disertai performa-nya yang powerful,
akan mengingatkan kita pada sosok Tony Broer, sang ikonik Teater Payung
Hitam periode medio 1980-an hingga medio 2000-an. Pada awal
keberadaannya, Teater Payung Hitam yang dibentuk dengan militasi
persaudaraan tersebut, melahirkan banyak aktor gaek.Selain Tonny Broer,
masih banyak aktor jebolan Payung Hitam yang merajai panggung Teater,
sebut saja Sis Triaji, Sukarsa Taslim, Nurrahmat SN, Budi Sobar, Joko
Kurnain, Nandi Riffandi, Deni Cholid, Tony Koor, Iman Soleh, Tatang
Macan, Rusli Keleeng, Iwan Lonceng, Deden Sutris, Opik PP, Denny Jabrig,
dan lain sebagainya. Selain aktor, Teater Payung Hitam pun tumbuh dan
berkembang dengan sentuhan para penata artistik, seperti Adun Wates,
Allan Sebastian, Otong Iron, Ade Ii, Deden Bulqini, dan masih banyak
lagi.
Jika Jenderal yang menonton, termasuk para tokoh pemimpin Bangsa yang
hadir menonton lakon PALSU ini adalah manusia yang dibekali dengan
filofis ketimuran dan kemanusiaan, maka seharusnya mereka merasa malu
menonton lakon yang merupakan cerminan ke-PALSUAN para pemimpin Bangsa.
Diposkan 30th August 2013 oleh rakoes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar